Tentang Exxon Mobile dan Harga Diri Bangsa
Majalah Tempo, Edisi 2 April 2006
Suara-Suara Bernada Nasionalistis
Gelombang kekecewaan setelah kasus Freeport dan ExxonMobil di Bojonegoro kian meluas. Dari politisi di Senayan hingga tokoh-tokoh nasional seperti melakukan konsolidasi menolak investasi asing. Apa upaya yang dilakukan perusahaan-perusahaan asing dalam mengantisipasi serangan yang bertubi-tubi?
Kisah ini terjadi sekitar Juli 1998. Lima botol minyak mentah dikirim dari Bojonegoro, Jawa Timur. Alamat tujuan kantor PT Humpuss Patragas, Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Minyak mentah itu adalah contoh yang disedot dari tambang Cepu Banyu Urip Satu. Menerima kiriman itu, petinggi Humpuss memanggil Koesoemadinata, ahli minyak dan gas bumi, penasihat direksi perusahaan. Setelah menelitinya, guru besar geologi dari Institut Teknologi Bandung itu terkagum-kagum. Kualitas sampel minyak itu luar biasa. Selain minyak mentah, sebungkus bongkahan batu juga dibawa ke Jakarta.
Dari bongkahan itu, ”Saya pastikan 99 persen ada kandungan minyak di sana,” kata sang profesor. Segenap petinggi Humpuss tentu saja riang bukan kepalang. Tapi pengeboran tiba-tiba dihentikan. Para teknisi asing melarang teknisi Humpuss menghampiri sumur. Alasannya, ”Ada gas beracun H2S di sana,” kata Koesoemadinata. Bau gas seperti bau telur busuk. Berbahaya buat kesehatan. Sumur minyak itu memang dikelola Humpuss bersama Ampolex, sebuah perusahaan minyak dari Australia. Humpuss menguasai 51 persen saham, Ampolex 49 persen. Belakangan, Ampolex menjual sahamnya ke Mobil Oil yang berasal dari Amerika Serikat.
Filed under: Exxon Mobile | 1 Comment »